Entah kenapa emang minat aja sama topik Jaman Orba. mungkin karena udah pernah buat presentasi tentang hal positif dari era ini waktu semester 2 kemaren, jadi ada rasa tertarik deh buat ngasih tau masyarakat. bukan hanya jeleknya aja, tapi ada sisi positifnya juga~
Saya bikin essay ini bukan untuk kontroversi! hanya menyampaikan beberapa opini saya dan opini publik. thanks~
so, lets read it and enjoy guys^^
Tema : hukum
Otoriter tetapi
Makmur atau Demokrasi tetapi Sengsara?
Oleh : Mutia S.H
“Dulu,
tahun 90-an, semua serba murah deh, mbak. Cepek aja udah berharga banget,” kata-kata yang sering dilontarkan oleh paman
saya ketika anak perempuannya mengeluh akan ongkos bus umum yang kerap naik
akibat kenaikan harga BBM yang cukup tinggi. Atau ketika seorang supir angkutan
umum yang sedang terjebak kemacetan berceloteh, “dulu ya, mobil boks seperti itu, pasti isinya mayat preman-preman yang
membuat keributan. Serem sih, tapi aman loh, dek,” semua celotehan ini
bertumpu pada satu masa. Masa orde baru atau biasa disebut ‘Jaman Pak Harto’.
Pemerintah Orde Baru adalah pemerintahan yang
dipimpin oleh Soeharto sejak tahun 1966 s/d 1998. Orde baru adalah masa
pemerintahan setelah Orde Lama yang dipimpin Soekarno dan masa sebelum Orde
Reformasi (1999-sekarang). Banyak opini yang mengatakan, Orba adalah suatu
sistem pemerintahan yang otoriter. Anti-demokrasi, yang berarti rakyat tidak
bisa mengeluarkan pendapatnya dan kuasa pemerintahan diperoleh tanpa melalui
sistem demokrasi pemilihan umum. Akan tetapi, sekalipun banyak opini dan
artikel saat ini yang mengatakan bahwa Orba adalah masa-masa suram yang
otoriter, ketika kita mendengar celotehan kerinduan dari masyarakat yang
merasakan masa Orba seperti diatas, satu pikiran akan muncul, “apakah mungkin masyarakat merindukan jaman
yang katanya suram itu? Apakah orba hanya berisi kesuraman dan kesengsaraan?”
Kebanyakan masyarakat akan lebih memilih
kembali ke masa-masa tahun 70-90an. Dimana harga barang semua terjangkau.
Pendidikan dan kesehatan terjamin dan bahan bakar pun murah. Mereka yang
mengatakan hal demikian, mungkin dianggap ‘orang awam’. Mereka yang
mengagung-agungkan presiden Soeharto dan Bu Tien. Mereka yang merasa hidup
makmur kala itu. Tetapi disamping mereka, ada sekelompok masyarakat yang sangat
tidak suka dengan kepemimpinan orba yang dianggap otoriter. Anti-demokrasi.
Biang korupsi. Kepemimpinan orba dianggap sangat otoriter karena beberapa orang
merasa terhapuskan hak suaranya. Jika ada yang berkoar sedikit saja akan
kejelekan pemerintah kepada publik, keesokan harinya akan menghilang bak
ditelan bumi. Rakyat dibiarkan mendengar hal-hal yang hanya menyenangkan saja.
Itu sebabnya banyak masyarakat Indonesia merasa tenang dan makmur ketika masa
itu.
Setelah masa orba, lahirlah era Reformasi
hingga saat ini. Jika dilihat saat ini, demokrasi besar-besaran. Pesta rakyat
dengan pemilu yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali. Masyarakat bebas
berekspresi dan berkomentar akan pemerintah maupun negara. Suara rakyat
didengarkan dan tidak ada yang melarang, tidak ada lagi yang hilang setelah
menyalurkan opininya di hadapan publik. Bahkan banyak masyarakat—terutama
remaja—yang mengirim pesan-pesannya ke twitter resmi presiden SBY. Sekalipun
banyak kata-kata yang sangat tidak pantas dan tidak sopan, tidak ada yang
menegur maupun tidak ada hukuman bagi si pelaku. Seakan hal itu adalah hal yang
lumrah di era ini. Tetapi apakah saat ini rakyat makmur? Atau semakin sengsara?
Dapat dilihat dari kenaikan harga BBM yang semakin tinggi. Kurs Rupiah yang
semakin terjun bebas. Kelaparan dan kematian anak akibat busung lapar, kematian
seseorang karena tidak dirawat dengan layak karena faktor ekonomi yang minim,
bukanlah hal asing saat ini. Fakir miskin dan anak terlantar bertebaran di
jalanan seakan mereka hanyalah hiasan jalan yang memang seharusnya ada dan
tidak diberi perhatian khusus. Ketentuan pasal 34 ayat (1) UUD ’45 yang
berbunyi : “Fakir miskin dan anak terlantar
dipelihara oleh negara”. Apakah saat ini sudah terealisasikan? Sudah
adakah perhatian dari pejabat pemerintah akan hal ini? Jika sudah, bagaimana
dengan pengamen, gelandangan yang tinggal di jalanan atau di kolong jembatan di
sekitaran ibu kota? Sebuah bukti ironis akan kemegahan ibu kota yang menyimpan
kepedihan di dalamnya. Kita bisa mengakui bahwa pasal 28 UUD ’45 sudah
terjalankan dengan baik, yang berbunyi : “Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Demokrasi di
Indonesia sudah dijalankan dengan baik. Tetapi, makmurkah? Bukankah ini dapat
disebut sebagai demokrasi yang ‘kedodoran’? Dengan adanya kata-kata yang tidak
sopan yang dilontarkan kepada presiden dan/atau pemerintah di media sosial,
sudah menjadi bukti yang cukup untuk mengatakan demokrasi saat ini tak
terkontrol.
Kembali
kepada demokrasi dan kemakmuran. Sekalipun saat ini demokrasi sangat
digembar-gemborkan, tetapi adakah kemakmuran pada rakyat kecil? Kemakmuran sederhana
dengan murahnya harga BBM, terjaminnya kesehatan dan pendidikan rakyat,
kehidupan layak yang terpenuhi akan kebutuhan primer setiap keluarga dan
penurunan angka kasus korupsi dan pencucian uang yang sangat marak saat ini di
kalangan pejabat pemerintah. Korupsi merupakan salah satu hal yang sangat
berpengaruh terhadap kesengsaraan rakyat. Uang rakyat digunakan untuk kebutuhan
tersier para koruptor yang hidup dalam kemewahan. Apakah hal ini disebabkan
karena kepemimpinan yang kurang tegas? Hukum yang lemah? Atau mungkin Indonesia
membutuhkan kepemimpinan yang otoriter agar makmur kembali dan disegani
negara-negara ASEAN lainnya layaknya kala masa orba?
Sebenarnya
tidak ada yang salah akan demokrasi dan opini rakyat saat ini. Tetapi, ada
kalanya semua itu harus diberikan batasan-batasan. Beropini dan berkritik
dengan bahasa yang sopan dan benar. Dan tidak juga salah jika pemerintah dan
pemimpin lebih tegas. Tidak otoriter. Hanya lebih tegas kepada para pejabat
pemerintah ataupun kepada rakyat yang melakukan sebuah pelanggaran. Hukuman
yang lebih berat, misalnya, kepada para koruptor. Pemimpin harus dapat
menunjukkan taringnya kembali untuk memakmurkan Indonesia. Mengontrol demokrasi
yang berlebihan, memperkuat hukum Indonesia yang mulai kehilangan kepercayaan
dari rakyat. Hukum dapat dibeli dengan uang. Itulah opini kebanyakan masyarakat
saat ini. Pemerintah yang pejabatnya banyak terjerat korupsi, hukum yang
memberi mereka hukuman sangat ringan dibandingkan dengan jumlah uang yang
mereka curi. Sebuah PR bagi generasi muda masa kini untuk membangun kembali
kepercayaan rakyat dan menegakkan hukum yang sesuai pasal 27 ayat (1) UUD ’45. Tidak
otoriter, tetap demokrasi tetapi demokrasi yang teratur, sopan dan terkontrol.
Bekasi, 1 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar