Senin, 25 November 2013

Essay buat BEM

Ceritanya aku kan mahasiswa nih. ceritanya jadi anggota BEM Fakultas nih. ceritanya disuruh bikin essay sama ketua nih. terus yaudah setelah berkutat semalaman depan laptop, mikirin konsep dan tema blablabla nya, ditemenin suara merdu akang-akang Bigbang, beberapa hari googling, nanya sana-sini untuk survey, dapet deh essay ini! udah lama sih dibikinnya, hampir sebulan lalu. tapi baru kepikiran buat posting aja hehe^^

Entah kenapa emang minat aja sama topik Jaman Orba. mungkin karena udah pernah buat presentasi tentang hal positif dari era ini waktu semester 2 kemaren, jadi ada rasa tertarik deh buat ngasih tau masyarakat. bukan hanya jeleknya aja, tapi ada sisi positifnya juga~

Saya bikin essay ini bukan untuk kontroversi! hanya menyampaikan beberapa opini saya dan opini publik. thanks~

so, lets read it and enjoy guys^^



Tema : hukum

Otoriter tetapi Makmur atau Demokrasi tetapi Sengsara?

Oleh : Mutia S.H



“Dulu, tahun 90-an, semua serba murah deh, mbak. Cepek aja udah berharga banget,” kata-kata yang sering dilontarkan oleh paman saya ketika anak perempuannya mengeluh akan ongkos bus umum yang kerap naik akibat kenaikan harga BBM yang cukup tinggi. Atau ketika seorang supir angkutan umum yang sedang terjebak kemacetan berceloteh, “dulu ya, mobil boks seperti itu, pasti isinya mayat preman-preman yang membuat keributan. Serem sih, tapi aman loh, dek,” semua celotehan ini bertumpu pada satu masa. Masa orde baru atau biasa disebut ‘Jaman Pak Harto’.

Pemerintah Orde Baru adalah pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto sejak tahun 1966 s/d 1998. Orde baru adalah masa pemerintahan setelah Orde Lama yang dipimpin Soekarno dan masa sebelum Orde Reformasi (1999-sekarang). Banyak opini yang mengatakan, Orba adalah suatu sistem pemerintahan yang otoriter. Anti-demokrasi, yang berarti rakyat tidak bisa mengeluarkan pendapatnya dan kuasa pemerintahan diperoleh tanpa melalui sistem demokrasi pemilihan umum. Akan tetapi, sekalipun banyak opini dan artikel saat ini yang mengatakan bahwa Orba adalah masa-masa suram yang otoriter, ketika kita mendengar celotehan kerinduan dari masyarakat yang merasakan masa Orba seperti diatas, satu pikiran akan muncul, “apakah mungkin masyarakat merindukan jaman yang katanya suram itu? Apakah orba hanya berisi kesuraman dan kesengsaraan?”

Kebanyakan masyarakat akan lebih memilih kembali ke masa-masa tahun 70-90an. Dimana harga barang semua terjangkau. Pendidikan dan kesehatan terjamin dan bahan bakar pun murah. Mereka yang mengatakan hal demikian, mungkin dianggap ‘orang awam’. Mereka yang mengagung-agungkan presiden Soeharto dan Bu Tien. Mereka yang merasa hidup makmur kala itu. Tetapi disamping mereka, ada sekelompok masyarakat yang sangat tidak suka dengan kepemimpinan orba yang dianggap otoriter. Anti-demokrasi. Biang korupsi. Kepemimpinan orba dianggap sangat otoriter karena beberapa orang merasa terhapuskan hak suaranya. Jika ada yang berkoar sedikit saja akan kejelekan pemerintah kepada publik, keesokan harinya akan menghilang bak ditelan bumi. Rakyat dibiarkan mendengar hal-hal yang hanya menyenangkan saja. Itu sebabnya banyak masyarakat Indonesia merasa tenang dan makmur ketika masa itu.

Setelah masa orba, lahirlah era Reformasi hingga saat ini. Jika dilihat saat ini, demokrasi besar-besaran. Pesta rakyat dengan pemilu yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali. Masyarakat bebas berekspresi dan berkomentar akan pemerintah maupun negara. Suara rakyat didengarkan dan tidak ada yang melarang, tidak ada lagi yang hilang setelah menyalurkan opininya di hadapan publik. Bahkan banyak masyarakat—terutama remaja—yang mengirim pesan-pesannya ke twitter resmi presiden SBY. Sekalipun banyak kata-kata yang sangat tidak pantas dan tidak sopan, tidak ada yang menegur maupun tidak ada hukuman bagi si pelaku. Seakan hal itu adalah hal yang lumrah di era ini. Tetapi apakah saat ini rakyat makmur? Atau semakin sengsara? Dapat dilihat dari kenaikan harga BBM yang semakin tinggi. Kurs Rupiah yang semakin terjun bebas. Kelaparan dan kematian anak akibat busung lapar, kematian seseorang karena tidak dirawat dengan layak karena faktor ekonomi yang minim, bukanlah hal asing saat ini. Fakir miskin dan anak terlantar bertebaran di jalanan seakan mereka hanyalah hiasan jalan yang memang seharusnya ada dan tidak diberi perhatian khusus. Ketentuan pasal 34 ayat (1) UUD ’45 yang berbunyi : “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Apakah saat ini sudah terealisasikan? Sudah adakah perhatian dari pejabat pemerintah akan hal ini? Jika sudah, bagaimana dengan pengamen, gelandangan yang tinggal di jalanan atau di kolong jembatan di sekitaran ibu kota? Sebuah bukti ironis akan kemegahan ibu kota yang menyimpan kepedihan di dalamnya. Kita bisa mengakui bahwa pasal 28 UUD ’45 sudah terjalankan dengan baik, yang berbunyi :  Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Demokrasi di Indonesia sudah dijalankan dengan baik. Tetapi, makmurkah? Bukankah ini dapat disebut sebagai demokrasi yang ‘kedodoran’? Dengan adanya kata-kata yang tidak sopan yang dilontarkan kepada presiden dan/atau pemerintah di media sosial, sudah menjadi bukti yang cukup untuk mengatakan demokrasi saat ini tak terkontrol.

Kembali kepada demokrasi dan kemakmuran. Sekalipun saat ini demokrasi sangat digembar-gemborkan, tetapi adakah kemakmuran pada rakyat kecil? Kemakmuran sederhana dengan murahnya harga BBM, terjaminnya kesehatan dan pendidikan rakyat, kehidupan layak yang terpenuhi akan kebutuhan primer setiap keluarga dan penurunan angka kasus korupsi dan pencucian uang yang sangat marak saat ini di kalangan pejabat pemerintah. Korupsi merupakan salah satu hal yang sangat berpengaruh terhadap kesengsaraan rakyat. Uang rakyat digunakan untuk kebutuhan tersier para koruptor yang hidup dalam kemewahan. Apakah hal ini disebabkan karena kepemimpinan yang kurang tegas? Hukum yang lemah? Atau mungkin Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang otoriter agar makmur kembali dan disegani negara-negara ASEAN lainnya layaknya kala masa orba?

Sebenarnya tidak ada yang salah akan demokrasi dan opini rakyat saat ini. Tetapi, ada kalanya semua itu harus diberikan batasan-batasan. Beropini dan berkritik dengan bahasa yang sopan dan benar. Dan tidak juga salah jika pemerintah dan pemimpin lebih tegas. Tidak otoriter. Hanya lebih tegas kepada para pejabat pemerintah ataupun kepada rakyat yang melakukan sebuah pelanggaran. Hukuman yang lebih berat, misalnya, kepada para koruptor. Pemimpin harus dapat menunjukkan taringnya kembali untuk memakmurkan Indonesia. Mengontrol demokrasi yang berlebihan, memperkuat hukum Indonesia yang mulai kehilangan kepercayaan dari rakyat. Hukum dapat dibeli dengan uang. Itulah opini kebanyakan masyarakat saat ini. Pemerintah yang pejabatnya banyak terjerat korupsi, hukum yang memberi mereka hukuman sangat ringan dibandingkan dengan jumlah uang yang mereka curi. Sebuah PR bagi generasi muda masa kini untuk membangun kembali kepercayaan rakyat dan menegakkan hukum yang sesuai pasal 27 ayat (1) UUD ’45. Tidak otoriter, tetap demokrasi tetapi demokrasi yang teratur, sopan dan terkontrol.


Bekasi, 1 November 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar